PEMIKIRAN POLITIK ISLAM NEO-MODERNISME:
PEMIKIRAN POLITIK HASAN HANAFI

diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Politik Islam
oleh kelompok 2
                             Arizal Saputra               : 1310103010039
                             Muhammad Ridho                  : 1410103010041
                             Raihan Yuranda            : 1410103010042
                             Cut Maisarah                 : 1410103010043
                             Hizhaitun Devie             : 1410103010044
                             Putri Hidayati                : 1410103010049
                             Silvana Delita                : 1410103010064
                             Muhammad Fadhil                  : 1410103010066
                             Ibrahim                          : 1410103010015

Dosen Pembimbing :
Nofriadi, S.IP., M.IP

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH

2016

KATA PENGANTAR

            Penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah swt. Yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memberikan iman dan taqwa kepada penulis sehingga makalah mata kuliah Pemikiran Politik Islam dapat penulis selesaikan dengan baik. Salawat dan salam kami persembahkan ke pangkuan Nabi Muhammad saw. Yang telah membawa manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pencerahan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Pemikiran Politik Islam Neo-Modernisme: Pemikiran Politik Hasan Hanafi”.
           
            Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Nofriadi, S.IP., M.IP selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada penulis sejak awal pertemuan sampai dengan selesainya penyusunan makalah ini.
           
            Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Pemikiran Politik Islam. Disamping itu, penulis berusaha menyelesaikan makalah ini dengan sebaik dan sesempurna mungkin agar dapat dijadikan sebagai bahan perkuliahan Pemikiran Politik Islam. Bilamana makalah ini dibaca oleh berbagai pihak, terutama mahasiswa, ternyata ditemukan kekurangan dan ketidaksesuaian, sudi kiranya memberikan kritik dan masukan untuk perbaikan dan revisi pada masa yang akan datang.
                                                                                               
                                                                                                Banda Aceh,       November 2016
                                                                                   

                                                                                                Kelompok 2





DAFTAR ISI

Kata Pengantar                                                                                                                      i
Daftar Isi                                                                                                                                 ii

BAB I       PENDAHULUAN                                                                                               1
A.    Latar Belakang                                                                                                           1
B.     Rumusan Masalah                                                                                                      2
C.     Tujuan dan Manfaat Makalah                                                                                    2
BAB II      LANDASAN TEORI                                                                                          3
A.    Tradisionalime                                                                                                            3
B.     Modernime                                                                                                                3
C.     Neo Modernisme                                                                                                       3
BAB III    PEMBAHASAN                                                                                                              5
A.    Biografi hasan Hanafi                                                                                               5
B.      Pengertian Neo Modernisme                                                                                    6
C.     Pemikiran Politik Islam hasan Hanafi Dalam Politik Islam Neo Modernisme           7
D.    Munculnya Gerakan Neo Modernisme Di Indonesia                                                  14
BAB IV    KESIMPULAN                                                                                                    17
DAFTAR PUSTAKA                                                                                                           18


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
            Pemakaian kata modern (dari bahasa inggris) modernisme atau modernisasi selama ini sudah sangat popular sehingga semua kalangan terdidik atau intelektual sudah paham tentang makna peristilahan yang dimaksud, sedangkan istilah modern dalam peristilahan Arab dikenal dengan kata tajdid yang artinya dalam bahasa Indonesia disebut pembaharuan. Dalam konteks pemikiran modern Islam, ia merupakan suatu wacana yang mengawali perubahan mendasar bagi islam sebagai suatu nilai ajaran dan umatnya sebagai pembuat arus pembaharuan tersebut. Modernisme dalam khazanah masyarakat barat mengandung makna pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya untuk di sesuai kan dengan suasana baru yang di timbulkan oleh kemajuan dan teknologi modern.
            Pemikiran modern atau pembaharuan dalam Islam mengandung adanya transformasi yang mesti berubah bahkan adakalanya di perlukan perombakan-perombakan terhadap struktur atau tatanan yang sudah ada atau di anggap baku.
            Neo-modernisme merupakan tipologi pemikiran Islam yang memiliki asumsi dasar bahwa islam harus dilibatkan dalam pergulatan modernisme. Tetapi, dengan catatan, tanpa harus meninggalkan tradisi lama yang sudah mapan. Dengan cara, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal-hal yang baru yang lebih baik.
            Sebagaimana anggapan paham neo-modernis, paham tradisionalis cenderung terlalu menyatu dengan budaya lokal, bertahan pada produk masa lampau dan sangat selektif dengan gagasan baru. Hal Inilah yang kemudian menyebabkan kecilnya kontribusi paham tradisionali khususnya dalam bidang pemikiran keagamaan.
            Hassan Hanafi termasuk tokoh kebangkitan Islam dan pemikir Islam Kontemporer. Ia dikenal sebagai seorang filosof dan Teolog yang berasal dari Mesir. Pemikirannya banyak mengedepankan tradisi dan pembaharuan. Hasan Hanafi dalam forum internasional juga dikenal dengan “Kiri Islam”.
            Hassan Hanafi adalah Guru Besar (Profesor) pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Hassan Hanafi yang berusaha mengambil inisiatif dengan memunculkan suatu gagasan tentang keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi pembebasan. Dengan gagasan tersebut, baginya, Islam bukan sebagai institusi penyerahan diri yang membuat kaum Muslimin menjadi tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan arus perkembangan masyarakat, tetapi Islam merupakan sebuah basis gerakan ideologis populistik yang mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Proyek besar itu dia tempuh dengan gayanya yang revolusioner dan menembus semua dimensi ajaran keagamaan Islam.
            Pada dasarnya pemikiran Hasan Hanafi bertumpu pada penyandingan antara tradisi dan modernitas. Ia mendesain segitiga pemikiran Islam yang dipandang akan memberikan spirit bagi kebangkitan umat Islam, sikap terhadap tradisi klasik (tradisional), sikap terhadap tradisi Barat, dan sikap terhadap realitas obyektif (kontekstualitas).
            Hanafi ingin meletakkan teologi Islam tradisional pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja secara pasrah. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diadakan pembaharuan baik secara historis maupun secara keideannya.

B.     Rumusan Masalah
            Mengacu pada latar belakang yang dijelaskan di atas, rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana biografi Hasan Hanafi?
2.      Apakah yang dimaksud dengan neo modernisme?
3.      Bagaimana munculnya gerakan neo modernisme di Indonesia?
4.      Bagaimana pemikiran politik neo modernism menurut Hasan Hanafi?

C.    Tujuan Masalah
            Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menjelaskan lebih mendalam terhadap rumusan masalah di atas, antara lain :
1.      Untuk mengetahui biografi Hasan Hanafi
2.      Untuk mengetahui pengertian neo Modernisme
3.      Untuk mengetahui munculnya gerakan neo modernisme di Indonesia
4.      Untuk mengetahui pemikiran politik neo modernism menurut Hasan Hanafi

BAB II
LANDASAN TEORI
A.    Tradisionalis
            Tradisionalis adalah orang atau sekolompok orang yang memegang pemikiran ulama’ islam abad pertengahan dan kelompok ini tidak mengakui ijtihad dan hanya mempertahankan (ta’ashub madzhab) salah satu mazhab yang di anutnya. Serta menolak keras pengaruh pemikiran dari barat untuk di jadikan acuan penyesuaian pelaksanaan ajaran islam dengan perkembangan zaman.

B.     Modernisme
            Modernisme adalah suatu aliran atau faham yang menjunjung tinggi idealitas ke masa depan dengan menjadikan barat sebagai referensi utama. atau modernisme adalah gerakan antroposentrisme yang hampir tidak terkekang. oleh karena model tradisionalis dan modernism masing-masing mengandung unsur kelebihan dan kekurangan.

C.    Neo Modernisme
            Neo Modernisme, kata ini berasal dari struktur kata “Neo” dan kata  “Modern” kemudian ditambah kata “isme”, sementara modernisasi berarti rasionalitas. Secara sederhana Neo-Modernisme artinya aliran rasionalisasi baru. Namun secara lengkap Neo-Modernisme adalah paham teologi islam yang memahami teks-teks dan tradisi islam dalam perspektif etika sosial dan kesalehan personal, dan pada saat yang sama tidak menonjolkan perbedaan dalam masyarakat islam serta konsep negara islam. Gerakan ini berusaha dengan menghubungkan nilai-nilai tradisi dengan modernisasi.
            Neo-modernisme merupakan tipologi pemikiran Islam yang memiliki asumsi dasar bahwa islam harus dilibatkan dalam pergulatan modernisme. Tetapi, dengan catatan, tanpa harus meninggalkan tradisi lama yang sudah mapan. Dengan cara, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal-hal yang baru yang lebih baik.
            Maka neo modernisme bermaksud menggantungkan kelebihan dan meminimalisir kelemahan masing-masing keduanya dalam menjawab berbagai tantangan zaman, ia berusaha menstransformasikan nilai-nilai kemodrenan yang positif dengan  tetap berpijak pada akar tradisi. Neo-modernisme juga muncul untuk menjembatani kedua paham tersebut. Paham neo modernisme berpandangan bahwa paham tradisional dan modern sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Karena itu. Neo-modernisme berusaha menggabungkan keduanya, Apa yang baik pada tradisional harus tetap dipegang. Sebaliknya, apa yang baik pada paham modernis dapat dijadikan pijakan.

BAB III
PEMBAHASAN
A.    Biografi Hasan Hanafi
            Hassan Hanafi lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Strata satu Hanafi di bidang filsafat Universitas Kairo. Ia meraih gelar Doktor dari Universitas Sorbonne Paris pada tahun 1966, ia juga aktif memberikan kuliah seperti di Perancis, Belgia, Temple University Philadelphia Amerika Serikat, Persatuan Emirat Arab,  Kuwait, Maroko dan menjadi Guru Besar tamu di Tokyo. Pada tahun 1988 hasan hanafi  dipercaya menjadi Ketua Jurusan Filsafat di Universitas Kairo.
            Hanafi aktif sebagai Sekretaris Umum Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir. Ia menjadi anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan Solidaritas Asia-Afrika serta menjadi Wakil Presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab. Hassan Hanafi juga tercatat sebagai pelopor berdirinya organisasi perhimpunan para filosof  Mesir yang berdiri tahun 1986. 
            Masa kecil Hanafi yang diwarnai penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948 namun ditolak oleh Pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda.
            Kejadian-kejadian yang ia alami pada masa ini, terutama yang ia hadapi di kampus, membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan reformis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu dapat dikalahkan dan konflik internal terus terjadi. Di Perancis ia juga banyak belajar kepada filsuf-filsuf terkenal , para filsuf ini lah yang nantinya mendasari pembaharuan Hanafi di dunia Islam Modern.[1]
            Semangat Hanafi untuk mengembangkan tulisan-tulisannya tentang pembaharuan pemikiran Islam semakin tinggi sejak ia pulang dari Perancis pada tahun 1966. Selaku filosof dan pemikir Islam, Hassan Hanafi menanamkan model baru dalam usaha memahami khazanah Islam klasik. Pemikirannya tergolong multi lintas, dan ini merupakan ciri khas gagasannya. Begitu juga dari aspek pembelaan atas pemikiran Islam yang dianggapnya terpinggirkan, sungguh luar biasa. Ia selalu berada di garis minoritas, kalau tidak tergolong melawan arus. Ketika semua orang menyokong kemapanan, ia berbalik membela kegelisahan.

B.     Pengertian Neo-Modernisme
            Secara sederhana Neo Modernisme dapat diartikan dengan dengan “paham modernisme baru”. Neo-modernisme digunakan untuk memberi identitas baru pada kecendrungan pemikiran islam yang muncul sejak beberapa dekade terakhir sebagai sintesis antara pola pemikiran tradisionalime dan modernism.[2] Neo-modernisme merupakan tipologi pemikiran islam yang memiliki asumsi dasar bahwa islam harus dilibatkan dalam pergulatan modernisme. Tetapi, dengan catatan, tanpa harus meninggalkan tradisi lama yang sudah mapan. Dengan cara, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal-hal yang baru yang lebih baik.[3]
            Sebagaimana anggapan paham neo-modernis, paham tradisionalis cenderung terlalu menyatu dengan budaya lokal, bertahan pada produk masa lampau dan sangat selektif dengan gagasan baru. Hal Inilah yang kemudian menyebabkan kecilnya kontribusi paham tradisionalisme khususnya dalam bidang pemikiran keagamaan.
            Dari sini lah kemudian lahirlah paham modernisme. Modernisme merupakan gerakan pembaharuan yang berusaha melawan kemapanan atas paham tradisional. Ciri penting dari paham modernisme adalah usaha pemurnian agama Islam dengan memberantas segala yang berbau khurofat dan bid’ah. Paham modern juga ingin melepaskan diri dari ikatan madzhab dan membuka kembali pintu ijtihad. kalangan modern memandang,  hal ini merupakan alternative untuk mengentaskan masyarakat dari kebodohan. Maka tak heran jika bidang garapan yang digalakkan oleh paham ini tidak lepas dari kelembagaan, pendidikan dan keorganisasian.
            Namun demikian, apa yang dirancang oleh paham modern ini tidak cukup mampu dan kuat untuk mengatasi problem-problem yang muncul kemudian. Banyak kritik bermunculan. Salah satunya, ia dianggap sebagai paham yang hanya terbelenggu oleh rutinitas mengolah lembaga-lembaga pembaharuan sehingga kehilangan kesegaran orientasi yang dimiliki. Atas dasar inilah Neo-modernisme muncul untuk menjembatani kedua paham tersebut. Paham modernisme berpandangan bahwa paham tradisional dan modern sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Karena itu. Neo-modernisme berusaha menggabungan keduanya. Apa yang baik pada tradisional harus tetap dipegang. Sebaliknya, apa yang baik pada paham modernis dapat dijadikan pijakan.
            Modernisme bukan sesuatu yang harus ditolak. Tetapi, dengan modernisme juga, bukan berarti alam pemikiran tradisional harus dikesampingkan. Bahkan, dalam beberapa hal dua pemikiran ini saling seiring dan sejalan.
C.    Pemikiran Politik Islam Hasan Hanafi Dalam Politik Islam Neo-Modernisme
1.      Kritik Terhadap Teologi Tradisional
            Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks sosial-politik yang terjadi. Teologi tradisional, menurut Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman dan sistem kepercayaan menganut pada budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurnian ajarannya.
            Sementara itu konteks sosio-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi. Oleh karena itu, kerangka konseptual lama harus di ubah karena berasal dari kebudayaan klasik harus diubah menjadi kerangka konseptual baru, yang berasal dari kebudayaan modern.[4]
            Hanafi ingin meletakan teologi tradisional Islam pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja. Namun teologi adalah ilmu kemanusiaan yang terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi baik secara historis untuk kontekstualisasi ajaran Islam. Pemikiran ini juga tidak jauh berbeda dengan teolgi pembebasan yang terjadi ajaran Kristen.
            Secara praksis, teologi tradisional menurut hasan Hanafi gagal menjadi idiologi yang fugsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim dikarenakan oleh para sikap teolog yang tidak mengaitkan teologi dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang berbeda. Karena itu, Hanafi menyimpulkan bahwa tidak ada kebenaran obyektif atau arti yang berdiri sendiri, terlepas dari keinginan manusiawi. Kebenaran teologi, dengan demikian, adalah kebenaran korelasional atau, dalam bahasa Hanafi, persesuaian antara arti naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif yang selalu berupa nilai-nilai manusiawi yang universal. Sehingga suatu penafsiran bisa bersifat obyektif, bisa membaca kebenaran obyektif yang sama pada setiap ruang dan waktu.
            Hanafi menegaskan bahwa rekonstruksi teologi tidak harus membawa implikasi hilangnya tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang terpelihara itu menentukan lebih banyak lagi pengaktifan untuk dituangkan dalam realitas duniawi yang sekarang. Dialektika harus dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan, bukan hanya terdiri atas konsep-konsep dan argumen-argumen antara individu-individu, melainkan dialektika berbagai masyarakat dan bangsa di antara kepentingan-kepentingan yang bertentangan.
            Rekonstruksi itu bertujuan untuk mendapatkan keberhasilan duniawi dengan memenuhi harapan-harapan dunia muslim terhadap kemendekaan, kebebasan, kesamaan sosial, penyatuan kembali identitas, kemajuan dan mobilisasi massa. Teologi baru itu harus mengarahkan sasarannya pada manusia sebagai tujuan perkataan (kalam) dan sebagai analisis percakapan. Karena itu pula harus tersusun secara kemanusiaan.
            Asumsi dasar dari pandangan teologi semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan Hanafi, adalah protes, oposisi dan revolusi. Baginya, Islam memiliki makna ganda. Pertama, Islam sebagai ketundukan yang diberlakukan oleh kekuatan politik kelas atas. Kedua, Islam sebagai revolusi, yang diberlakukan oleh mayoritas yang tidak berkuasa dan kelas orang miskin. Jika untuk mempertahankan status-quo suatu rezim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial politik melawan status-quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai pergolakan.
            Melihat kegagalan teologi tradisional, Hanafi mewacanakan rekonstruksi teologi Islam agar teologi Islam benar-benar menjadi Ilmu yang bermanfaat bagi manusia dan umat masa kini. Yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi , serta membangun kembali epistimologi lama menju epistimologi yang baru. Tujuan pokok dari rekonstruksi teologi adalah agar menjadikan teologi agama tidak sekedar dogma-dogma yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuagan sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktual sebagai landasan etnik dan motivasi bagi manusia.
            Menurut Hasan Hanafi, untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang kurangnya dilatar belakangi oleh tiga hal, sebagai berikut:
a.       Kebutuhan akan adanya sebuah idiologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai Idiologi.
b.      Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak kepada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan idiologi sebagai gerakan dalam sejarah, salah satu kepentingan praksis idiologi Islam (dalam teologi) adalah memecahkan kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara muslim.
c.       Kepentingan teologi yang bersifat praksis, yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam.

            Menurut hasan Hanafi, Rekonstruksi teologi merupakan salah satu cara yang harus di tempuh jika mengharapkan teologi dapat memberikan sumbangan konkrit bagi kehidupan dan peradaban manusia.
Oleh karena itu perlu menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensinya, kognitif, maupun kesejahteraan. Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam, yaitu analisa bahasa dan analisa realitas.
2.      Oksidentalisme
            Sebelum melangkah pada oksidentlaisme, kita perlu membahas dahulu apa yang menjadi pemahaman Hassan Hanafi mengenai tradisi (turats). Tradisi, menurutnya, bukanlah sekedar barang mati yang telah ditinggalkan orang-orang terdahulu. Pernyataan ini persis sama seperti pengakuan Al-Jabiri, yaitu bahwa tradisi adalah barang hidup yang selalu menyertai kita. Tradisi adalah elemen-elemen budaya, kesadaran berfikir, serta potensi yang hidup, dan masih terpendam dalam tanggung jawab generasi sesudahnya. Dia adalah sebagai dasar argumentatif, dan sebagai pembentuk pandangan dunia serta membimbing perilaku bagi setiap generasi mendatang.[5]
            Tradisi ternyata telah banyak dicemari oleh hegemoni feodalisme dan menjadi kekuatan kekuasaan yang berkedok agama. Sehingga perlu direvitalisasi menjadi kekuatan yang membebaskan. Titik tolak Hassan Hanafi adalah realitas Arab saat ini, dan menurutnya adalah keharusan pemecahannya untuk mengakhiri semua hal yang menghambat perkembangan dalam dunia Islam dan Arab.
            Tradisi, pada dasarnya tidak bernilai. Kecuali jika ia dapat menjadi sarana yang dapat memberikan teori aksi negara Arab dalam merekonstruksi manusia dan hubungannya dengan Tuhan.
            Oksidentalisme merupakan antitesis Orientalisme. Menurut Hassan hanafi oksidentalisme berusaha mengkaji barat dalam kaca mata timur, sehingga ada keseimbangan dalam proses pembelajaran antara barat dan timur.
            Para oksidentalis mengkritik orientalisme sekaligus mengkaji ulang Barat. Hassan Hanafi terang-terangan menyebut kritikannya terhadap Orientalisme sebagai Oksidentalisme. Profesor filsafat Universitas Kairo ini pula yang membedakan dengan menghadirkan Oksidentalisme bercorak filosofis.
            Dengan Oksidentalisme, Hassan Hanafi berupaya membalik kedudukan Orientalisme Barat. Dalam Oksidentalisme neraca-neraca berbalik, peran-peran pun bergantian, ego Eropa yang dulu sebagai pengkaji hari ini menjadi objek kajian sebagaimana  non-Eropa yang kemarin dikaji kini menjadi subjek pengkaji. Pembalikan kedudukan itu ditujukan untuk menghilangkan kesombongan Eropa dan kerendahdirian non-Eropa.[6]
            Namun Hanafi mengantisipasi masuknya unsur-unsur Orientalisme ke dalam Oksidentalisme dalam pembalikan itu. Ia menetapkan garis-garis pembeda antara keduanya antara lain: Pertama, Oksidentalisme muncul pasca gerakan kemerdekaan nasional sehingga bernuansa pembelaan atas kemerdekaan, yang tentu saja berbeda dengan Orientalisme yang muncul bersama Kolonialisme yang merenggut kemerdekaan. Kedua, Orientalisme menggunakan metode-metode abad ke-19 bercorak positivistik, historistik, dan rasialis, sementara Oksidentalisme memanfaatkan metode-metode kontemporer yang mengkritik metode-metode tersebut di atas, seperti metode linguistik, metode fenomenologi dan metode pembebasan nasional. Ketiga, Oksidentalisme tak berkehendak untuk menguasai kecuali kehendak untuk merdeka sehingga lebih netral ketimbang Orientalisme yang bercampur dengan Kolonialisme.


3.      Kiri Islam
            Kiri Islam dimaksudkan oleh Hasan Hanafi  sebagai media perlawanan dan kritik atas tekanan dari Barat. Tekanan dari Barat, seperti kita ketahui telah mengambil bentuk penjajahan dan perampasan hak-hak umat Islam. Penjajahan yang dilakukan Barat terhadap Islam membuat tekanan psikologis yang sangat dalam, literatur sejarah mencatat ketika bangsa barat masih terjebak dalam masa kegelapan, Islam telah berjaya dengan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan. Bahkan Islam turut memberikan andil penting terhadap kemajuan dunia barat dengan menghidupkan kembali filsafat yunani yang pada saat itu di barat, merupakan hal yang  bertentangan dengan  dogmatisme Gereja, sehingga banyak ilmuwan Barat yang belajar dengan ilmuwan muslim.[7] Namun realitas saat ini berbalik tiga ratus enam puluh derajat, bangsa barat mendominasi ilmu pengetahuan bahkan turut menjajah umat Islam, hal inilah yang membuat hanafi berpikir untuk merevivalisasi kembali semangat umat islam dengan pemikiran Kiri Islamnya karena bagi Hanafi penjajahan barat terhadap dunia Timur (Islam) merupakan sebuah kejahatan yang sangat besar.
            Penamaan kiri kiri Islam selain itu menurut hassan Hanafi dimunculkan secara spontan. Nama itu menggambarkan arus yang berkembang dalam situasi saat itu.  Kiri adalah nama ilmiah, sebuah istilah ilmu politik yang berarti resisitensi dan kritisisme dan menjelaskan jarak antara realitas dan kritisme dan menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas. kiri juga terminologi ilmu-ilmu kemanusiaan secara umum. Misalnya terdapat kiri Freud dalam psikologi, kiri hegel dalam filsafat, dan kiri keagamaan dalam ilmu sejarah agama-agama. Jelas kiri adalah istilah akademik tanpa pretensi politik dalam arti ideologi partai atau mobilisasi massa. Penamaan itu pun  hadir setelah melihat realitas umat Islam yang kehidupannya terpilah antara penguasa dan yang dikuasai, pemimpin dan rakyat, kaya dan miskin.
            Kiri Islam berada dalam barisan orang-orang yang dikuasai, yang tertindas, kaum miskin. Dengan demikian ia mereflesikan Kiri dalam kondisi akademik. Tidak adanya pretensi politik disini menegaskan bahwa Kiri Islam tidak ada hubungannya dengan faham marxisme, namun dalam tujuannya ada satu kesamaan yaitu sama-sama berusaha untuk melawan penindasan.
            Kiri Islam lahir setelah berbagai metode pembaruan masyarakat kita dalam beberapa generasi hanya menghasilkan keberhasilan yang relatif, bahkan untuk sebagiannya gagal, terutama dalam masalah keterbelakangan. Yang disebabkan karena,
a.       Berbagai hal yang meliputi kekuasaan menjadikan Islam hanya sekedar ritus dan kepercayaan-kepercayaan ukhrawi, sehingga terjebak dalam fanatisme primordial, kejumudan, dan berorientasi kekuasaan.
b.      Liberalisme yang pernah berkuasa sebelum masa-masa revolusi yang terakhir, ternyata didikte oleh kebudayaan barat, berperilaku seperti penguasa kolonial dan hanya melayani kelas-kelas elite yang menguasai aset negara. Sementara  kepentingan mayoritas rakyat di pinggirkan yang tampak dalam kerja-kerja revolusi.
c.       Marxisme yang berpotensi mewujudkan keadilan sosial dan menentang kolonialisme ternyata tidak diikuti dengan pembebasan rakyat dan pengembangan khazanah mereka sebagai energi untuk mewujudkna tujuan-tujuan kemerdekaan nasional.
d.      Nasionalisme revolusioner yang berhasil melakukan perubahan-perubahan radikal dalam sistem politik dan ekonomi ternyata tidak berumur lama, banyak mengandung kontradiksi dan tidak mempengaruhi kesadaran mayoritas rakyat, ia berhenti hanya sebagai slogan.

            Dan kemudian  Kiri Islam lahir dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan pergerakan nasional dan prinsip-prinsip revolusi sosialis. Kiri Islam menurut Hanafi juga mendapat inspirasi dari keberhasilan revolusi Islam akbar Iran yang mengejutkan dunia. Dimana rakyat muslim tegak kokoh melawan tekanan militer dan menumbangkan rezim syah atas nama “Islam” dan “kekuatan Allah Maha Besar”, penumpas kaum otoriter”. Revolusi ini dapat disejajarkan  dengan dua revolusi besar lain, revolusi Prancis dan revolusi Bolsevijk, serta menjadi satu model bagi revolusi keyakinan pada akhir abad ke 14. Kiri Islam juga merupakan resultan dari gerakan-gerakan kaum muslimin di Afghanistan, Melayu, Filipina, Pakistan, dan revolusi Aljazair untuk memunculkan Islam sebagai khazanah nasional, yang memelihara otentisitas, dan kreatifitas kaum muslimin, memperjuangkan kepentingan mereka dan mendinamisasi rakyat muslim di setiap tempat. Dari beberapa latar belakang tersebut, Hassan Hanafi mencoba untuk merekonstruksi kembali pemikiran umat Islam melalui pemikiran kiri Islamnya.
            Pertama adalah kritiknya atas kecenderungan umat Islam yang hanya berorientasi kepada tujuan ukhrawi, dan kekuasaan. karena pada intinya teologi ini cenderung membuat umat Islam pasrah terhadap realitas yang menimpa mereka dan lebih memilih untuk beribadah memikirkan kehidupan akhirat. Disamping itu kecenderungan lainnya yaitu kepasrahan tersebut digunakan untuk mempertahankan kekuasaan tertentu. Kedua Hanafi ingin memperlihatkan bahwa Liberalisme dari Barat memiliki sisi buruk terhadap Islam, yaitu hanya melayani kepentingan kolonial dan kalangan elite serta hanya melibatkan rakyat dalam proses produksi tanpa adanya pemerataan kesejahteraan. Kritik Hanafi terhadap Liberalisme tersebut didasari pada kecenderungan penelitiannya terhadap barat, selain sebagai seorang pemikir modernis Islam  Hanafi juga dikenal sebagai tokoh oksidentalisme yang meneliti barat. Bahkan dalam karya monumentalnya yang berjudul Muqaddimah fi ‘Ilmi Istighrab, mengajak umat Islam mengkritisi hegemoni kultural, politik, dan ekonomi Barat, yang dikemas di balik kajian orientalisme. Ketiga kritiknya terhadap marxisme, menurutnya marxisme yang dicetuskan oleh Karl Marx hanya menajnjikan keadilan sosial, namun mengkebiri kebebasan rakyat dan tidak diikuti oleh pengembangan khazanah kerakyatan, hal inilah yang membuat sulit untuk mewujudkan tujuan-tujuan nasional, situasi yang memang tampak di negara-negara sosialis pada saat itu. Keempat Hanafi juga mengkritik nasionalisme yang pada saat itu berkembang di Mesir, semangat yang didengungkan oleh Ghamal Abdul Nasser yang ujungnya hanya menimbulkan kontradiksi dan polemik didalam situasi politik Mesir itu sendiri. Kemudian hanya menjadi sekedar slogan maka tercetuslah pemikiran Kiri Islam yang menurutnya merupakan realisasi  tujuan-tujuan pergerakan nasional dan prinsip-prinsip revolusi sosialis.

            Dan terakhir latar belakang terlahirnya Kiri Islam adalah munculnya Revolusi Islam di Iran yang berhasil menggulingkan Syiah dan mengganti sistem pemerintahan dari sistem monarki menjadi sistem teokrasi. Pada intinya latar belakang pemikiran Kiri Islam secara umum adalah realitas umat Islam yang berada dalam keterbelakangan dan ketertinggalan diberbagai aspek terhadap Barat. Kiri Islam hadir sebagai solusi yang kritis dalam menyikapi realitas tersebut. Dan  Jurnal kiri Islam hadir untuk memberikan pencerahan dan penyadaran kepada umat Islam diseluruh dunia.
D.    Munculnya Gerakan Neo-Modernisme Di Indonesia
            Munculnya para pemikir Islam, seperti Mukti Ali dan Harun Nasution, telah memberikan sumbangan intelektual yang besar, baik dalam kerangka memahami respons agama terhadap arus modernisasi maupun dalam mengembangkan tradisi kritis dilingkungan intelektual Islam, khususnya dikalangan para Ilmuwan, Mahasiswa, dan Dosen.
            Neo-modernisme Islam di Indonesia dipelopori oleh sejumlah tokoh yang telah dimatangkan oleh pergulatan pemikiran keislaman, seperti Harun Nasution, Mukti Ali, Nur Cholish Majid, Munawir Syadzali, Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, M. Amin Rais, A. Syafi’I Ma’arif, dan kuntowijoyo adalah figur – figur yang mendukung dan menyemarakkan wacana Neo-Modernisme, dan juga sebagai figur figur yang memunculkan gagasan Islam alternatif, yaitu menjadikan Islam sebagai jalan alternatif dalam merespons dinamika modernitas sehingga diperlukan gerakan Islamisasi dengan jalan menemukan asli Islam untuk menyusun system system keislaman. Abdurrahman Wahid sekembalinya dari studi di Timur Tengah secara cepat beraliansi dengan gerakan itu. Sebagai konsekuensinya, beberapa perhimpunan pemuda di bawah NU dan kebanyakan ulama yang sering bertukar ide dengan Abdurrahman Wahid secara kuat dipengaruhi oleh pemikiran neo-modernis.
            Fakror-faktor pembentukan neomodenisme yang pokok adalah hilangnya perasaan inferiority complex di kalangan umat Islam, khususnya bagi Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid terhadap Barat. Sebagai generasi yang tidak mengalami perang kemerdekaan dan tidak mengalami diskriminasi dari kalangan elite Eropa semasa kolonialisme, membuat mereka memiliki kepercayaan diri.
            Gerakan neo-modernisme mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam proses pergulatan modernisme. Bahkan kalau mungkin, Islam diharapkan menjadi leading ism (ajaran-ajaran yang memimpin) di masa depan. Namun demikian, hal itu tidak berarti menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan postulat (dalil) al-muhâfazhat ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîd alashlah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Pada sisi lain, pendukung neo modernisme cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks atau lingkup nasional. Mereka percaya bahwa betapapun, Islam bersifat universal, namun kondisikondisi suatu bangsa, secara tidak terelakkan, pasti berpengaruh terhadap Islam itu sendiri.
            Neo-modernisme di Indonesia memiliki beberapa karakteristik, antara lain Pertama, ia berwatak progresif. Hal ini diindikasikan dengan penekanan sikap positif terhadap pentingnya modernitas, kemajuan, dan pengembangan. Ia sangat kritis dalam memperhatikan masalah-masalah keadilan sosial, disertai rasa optimis tentang ke arah mana manusia bergerak maju dan mau mengapreasi jalannya perubahan sosial yang begitu cepat. Kedua, neo-modernisme seperti halnya fundamentalisme adalah respons rerhadap modernitas, gangguan globalisasi peradaban, dan kebudayaan Barat rerhadap dunia Islam. Tidak seperti fundamentalisme yang melihat Barat sebagai kebalikan Timur, neo modernisme tidak merasa perlu menekankan perbedaan dcngan Barat atau tidak menekankan identitas diri yang terpisah. Neo modernisme secara cerdas dapat mendekati keilmuan dan kebudayaan Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Kritik rerhadap bagian tertentu budaya Barat bukan berarti hal itu tak dapat direkonsialisikan. Neomodernisme ridak hanya membela ide-ide liberal Barat seperti demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan pemisahan agama dengan negara, namun menekankan bahwa ide-ide Islam ini memberi warisan umum terhadap Barat.
            Ketiga, pemikiran neo-modernisme Indonesia menganjurkan jenis sekularisme khusus yang berdasarkan Pancasila dan Konstitusi Indonesia, sehingga keinginan sektarianisme keagamaan tetap terpisah dari keinginan negara atau ada keterpisahan agama dengan negara. Neo modernisme Indonesia berargumentasi bahwa al-Quran dan Hadits tak berisi blue print tentang negara Islam atau tidak menetapkan bahwa negara agama adalah perlu atau mungkin.[8] Atas pemikiran ini, Nurcholish Madjid pernah melontarkan ide kontroversial sekulariasi dan desakralisme. Sekularisasi adalah usaha untuk menduniawikan nilal-nilal yang sudah duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Keempat, neomodernisme menghadirkan sebuah keterbukaan, inklusivitas, dan pemahaman liberal Islam yang dapat direrima oleh segala kalangan, pengakuan pluralisme sosial, penekanan perlunya toleransi, dan hubungan harmonis di kalangan masyarakar.
            Kelima, neo modernisme dimulai dengan semangat kembali pada abad modernisme (Muhammad Abduh) dengan memerhatikan rasionalitas dalam kegiatan ijtihad ataupun upaya individual dalam interpretasi nash. Kalangan neomodernisme mengembangkan sistem hermeneutik, ijtihad kontekstual, memerhatikan kekhususan masyarakat dan budaya Arab abad ke-17, dan melakukan interprerasi baru untuk merespons kebutuhan-kebutuhan dan perkembangan budaya masyarakat akhir abad ke-20. Bisa dikatakan, neomodernisme menyintesiskan tradisi keilmuan Islam, tuntutan modernis tentang ijtihad, tuntutan ilmu sosial Barat, dan kemanusiaan. Mereka bisa melakukan upaya ini karena mereka berlatar belakang tradisionalis (pesantren atau madrasah) yang dibekali dengan penguasaan Bahasa Arab dan akrab dengan warisan keilmuan Islam klasik. Dengan demikian, secara simultan neomodernisme adalah gerakan kembali pada dasar-dasar modernisme dan menyintesiskan pemikiran kaum tradisionalis, modernis, dan tuntutan Barat.


BAB IV
KESIMPULAN

            Tradisionalis adalah orang atau sekolompok orang yang memegang pemikiran ulama islam abad pertengahan dan kelompok ini tidak mengakui ijtihad dan hanya mempertahankan (ta’ashub madzhab) salah satu mazhab yang di anutnya. Serta menolak keras pengaruh pemikiran dari barat untuk di jadikan acuan penyesuaian pelaksanaan ajaran islam dengan perkembangan zaman.
            Neo-modernisme merupakan tipologi pemikiran Islam yang memiliki asumsi dasar bahwa islam harus dilibatkan dalam pergulatan modernisme. Tetapi, dengan catatan, tanpa harus meninggalkan tradisi lama yang sudah mapan. Dengan cara, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal-hal yang baru yang lebih baik.
            Pemikiran politik Hasan Hanafi yang termasuk dalam pemikiran politik islam neo modernism ada 3 yaitu: Kritik Terhadap Teologi Tradisional, Oksidentalisme (Menurut Hassan hanafi oksidentalisme berusaha mengkaji barat dalam kaca mata timur, sehingga ada keseimbangan dalam proses pembelajaran antara barat dan timur) dan Kiri Islam (Kiri Islam dimaksudkan oleh Hasan Hanafi  yaitu sebagai media perlawanan dan kritik umat islam atas tekanan dari Barat).

DAFTAR PUSTAKA

            AbdurrahmannWahid, 1993, “Hasan Hanafi dan Eksprementasinya”, Pengantar Dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Post Modernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hasan Hanafi.

            Ahmad Ridwan Hasan, Pemikiran Hasan Hanafi; Studi Historis Kritis Gagasan Reaktualisasi Tradisi Keilmuan. (Bandung; IAIN Sunan Gunung Jati, 1997).

            Ahmad Amir Aziz. Neo Modernisme Islam di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. 1999.

            Sani Abdul Drs. Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada. 1998.

            Hasan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, (Jakarta, P3M, 1991).

            Hasan Hanafi, Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, (Jakarta: Paramadiana, 1996)

            Zuli Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam, Wacana dan Aksi Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
           





Comments

Popular posts from this blog

Lokan di Sungai Singkil

Bisikan Sang Perantau di Bulan Ramadhan