Adat Singkil

“MERISIK” ADAT SINGKIL

  ” MERISIK” ADAT SINGKIL
Merisk Singkil (FILEminimizer)
Muhajir Al Fairusy, S.Hum, . MA , El Amin, SE  dan Rahmat Harun, S.Hi
(Anggota Bidang pelestarian Pustaka dan Pembinaan Khasanah Adat dan Staf MAA) 

     Pukul 10.00 pagi, tanggal 18 November 2014, Tim perjalanan Kunjungan Kerja dari Majelis Adat Aceh, mulai berangkat dari Banda Aceh menuju Aceh Singkil. Jarak tempuh ke Aceh Singkil, dari Kota Banda Aceh membutuhkan waktu ± 13 (tiga belas) Jam perjalanan darat. Sepanjang jalan yang melewati 7 (tujuh) Kabupaten/Kota (Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Abdya, Aceh Selatan dan Subulussalam) hari itu, terus diguyur hujan lebat hingga ke Aceh Singkil. Tim baru tiba di Kabupaten Aceh Singkil pukul 00.05 dini hari, dan langsung menuju ke salah satu tempat penginapan yang ada di Kota Rimo. Kota Rimo sendiri, merupakan salah satu basis dari perdagangan Kabupaten Singkil, yang letaknya di tapal pertengahan antara Kota Subulussalam dan Aceh Singkil.
Nama Singkil telah lama dikenal dalam pentas sejarah Aceh, terutama sebagai salah satu wilayah yang rajin memproduksi intelektual, sebut saja Hamzah Fanshuri dan ‘Abdurrauf as Singkily yang pernah menjabat sebagai Qadhi Malikuk Adil dalam struktur Kerajaan Aceh Darussalam, sekaligus intelektual Aceh yang mengarang ragam karya untuk dinikmati oleh generasi setelahnya. Wilayah ini, juga berbatasan langsung dengan Kota Barus, yang disebut-sebut sebagai salah satu kota penting dalam perdagangan Nusantara sekaligus barometer penyebaran Islam setelah Aceh.
Menurut salah seorang pengurus MAA Aceh Singkil-Bapak Fajri, Singkil merupakan wilayah yang didiami oleh suku Singkil, Pak pak dan pesisir Jamee. Suku Singkil asli pada dasarnya tidak memiliki marga, namun kemudian berbaur dengan pendatang yang memiliki marga dan pendatang dari suku Minang-yang dikenal dengan istilah Jamee (Aceh ; Tamu). Pembauran ini, telah memunculkan konfigurasi Singkil Baru yang dikenal sekarang. Singkil Baru menawarkan bahasa Singkil yang dipengaruhi oleh suku-suku pendatang, terutama struktur bahasa Minang, bahasa Pak Pak, dan sebagian bahasa Tapanuli. Karena itu, secara tidak langsung orang Singkil telah menguasai beberapa bahasa kepulauan Sumatra saat melakukan interaksi keseharian.
Sebenarnya, kata Merisik  dalam komunitas Aceh Singkil, dipakai untuk langkah awal dalam menelusuri pasangan hidup oleh pihak laki-laki. Merisik itu sendiri merupakan pengaruh dan simbol dari bahasa Minang, yang kemudian ikut berpengaruh dalam penyelenggaraan adat istiadat masyarakat Singkil saat penyelenggaraan adat perkawinan, terutama dalam komunitas Singkil Pesisir. Karena itu, untuk menuntaskan artikel singkat ini, kata “Merisik” saya pinjam, untuk menggambarkan upaya penelusuran sebagian kecil element adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat Aceh Singkil.
Upaya merisik (baca ; menelusuri) adat Singkil, saya lakukan dengan pendekatan observasi dan wawancara dengan bebepara informan yang dianggap memiliki laku adat. Praktik adat pun, kami batasi pada konsep cyrcle life (lingkaran kehidupan), dan eksistensi lembaga Majelis Adat Aceh Singkil. Kehadiran lembaga adat ini, telah menjadi base community sebagai upaya konservasi, dan pengembangan nilai adat Aceh Singkil dalam lingkaran gempuran gaya hidup global.
Eksistensi Majelis Adat Aceh Singkil
     Kedatangan kami ke institusi adat di Aceh Singkil, atau lebih dikenal Majelis Adat Aceh Singkil, yang merupakan representasi dari konfigurasi adat di wilayah penghujung Aceh tersebut, disambut oleh Pengurus dan Pegawai Sekretariat Majelis Adat setempat. Instutisi ini telah berperan penting dalam upaya penegakan nilai adat di Kabupaten perbatasan Aceh dan Sumatara Utara ini. Menurut Kepala Sekretariat MAA setempat, Bapak Roswin Hakim, dari tahun 2011, mereka telah melakukan ragam upaya untuk mempertahankan eksistensi lembaga tersebut. Diantaranya, lewat bidang pengkajian nilai adat, institusi ini telah melakukan kajian dan penelusuran nilai adat di seluruh Kemukiman yang ada di Aceh Singkil.
Selanjutnya, hasil dari penelusuran tersebut telah dilakukan lokarya untuk menerima masukan dari beberapa pihak, terutama mengundang pranata Ninik Mamak, dan Sin Tua yang merupakan pranata adat, dan hidup di tengah masyarakat Aceh Singkil. Menurut Bapak Roswin, tahun 2015 nantinya, hasil kajian dan penelusuran tersebut, akan  segera dibukukan. Memang, pihak Majelis Adat setempat, juga mengeluh masih kekurangan dana operasional untuk melestarikan nilai adat di Kabupaten Aceh Singkil. Apalagi, status kantor yang sedang mereka tempati, masih tergolong rawan banjir dan masih berstatus pakai sementara. Karena, tahun 2015 nantinya, mereka baru akan dipindahkan ke kantor baru, bekas rumah peninggalan Belanda tempo dulu. Kantor baru, menurut pihak sekretariat setempat tergolong lebih besar. Karena itu, di kantor baru rencananya juga akan dibangun museum adat, yang akan menjadi icon masyarakat Aceh Singkil.
Mengupas Cyrcle Life (adat perkawinan) Adat Aceh Singkil
              Salah satu lingkaran kehidupan yang masih tetap dirayakan oleh masyarakat Singkil adalah adat perkawinan. Upacara adat perkawinan tergolong masih sangat sakral, sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat di belahan dunia lain pada umumnya. Di Singkil, perkawinan juga dianggap sebagai proses peralihan manusia dari satu ruang kehidupan ke ruang kehidupan berikutnya. Menurut Bapak Fajri, proses adat perkawinan di Aceh Singkil sangat dipengaruhi oleh unsur budaya Minang, mengingat Minang telah bersentuhan dengan Aceh Singkil sejak abad ke 18 M.
              Proses upacara perkawinan di Aceh Singkil, terutama komunitas Singki Pesisir, selalu diawali dengan tradisi merisik, yaitu upaya penjajakan dari pihak laki-laki, terkait identitas dan status perempuan yang akan dilamar, dan diterima tidaknya perempuan tersebut dijodhohkan dengan pemuda tersebut. Merisik, umumnya dilakukan secara “berbisik-bisik” (rahasia), yang hanya melibatkan pihak keluarga laki-laki dan perempuan, tanpa melibatkan pihak lain. Tujuan dilakukan rahasia, jika terjadi penolakan dari pihak perempuan, maka cukuplah kedua pihak yang mengetahuinya (tidak tersebar ke masyarakat luas). Sikap ini, menunjukkan tingginya rasa malu dan sikap menjaga kehormatan keluarga laki-laki dalam masyarakat Aceh Singkil. Namun, jika upaya merisik diterima dengan baik oleh pihak perempuan, maka baru kemudian akan melibatkan pihak ketiga, terutama pihak keluarga dan saudara dekat.
Dilanjutkan dengan pinangan. Dalam pinangan baru ditentukan jumlah mahar yang harus dibayar, yang dibayar mulai dari mahar dan uang bantuan. Dalam pinangan juga ditentukan hari dan tanggal dilaksanakan nya upacara perkawinan. Setelah selesai pinangan, baru kemudian dilanjutkan dengan acara pakat antarkeluarga (baik di pihak laki-laki dan perempuan). Setelah itu, baru kemudian dilakukan pakat Ninik Mamak, yang diikutsertakan oleh pemangku adat dan masyarakat, di situ ditentukan istilah peminjaman adat, baru kemudian ditentukan apakah acara adat dilaksanakan besar atau kecil. Setelah pertemuan peminjaman adat dilangsungkan, dilanjutkan dengan pemasangan atribut adat, yang dikenal dengan istilah menggantung. Pemasangan atribut adat, sangat tergantung pada besar dan kecilnya upacara adat perkawinan yang akan dilaksanakan oleh pihak keluarga.
Mengenai kategori acara perkawinan (besar dan kecil), maka dibagi pada tiga tingkatan. Pertama, jika acara adat perkawinan dilangsungkan dalam skala kecil, termasuk kendurinya, maka atribut adat yang dipakaipun, hanya meliputi tabir, langit-langit dan kelambu. Kedua, jika acara adat perkawinan tersebut skalanya menengah, maka atribut adat yang dipakai, selain tabir, langit-langit, kelambu, ditambah dengan Samtangan. Ketiga, dan jika acara adat tersebut, digolongkan berskala besar, termasuk kendurinya yang dilaksanakan tampak meriah, maka atribut adat yang dipakai pun di pelaminan meliputi, tabir, langit-langit, kelambu, Samtangan, ditambah Pintu Gadung, untuk menunjukkan kelas sosial orang-orang yang dianggap berada, dan penegasan bahwa acara adat tersebut masuk dalam ketegori besar. Kategori ketiga, juga diklaim sebagai pelaksanaan adat yang lengkap dalam masyarakat Aceh Singkil.
 Setelah acara menggantung, kemudian dilanjutkan dengan prosesi pernikahan (boleh dilaksanakan di Mesjid atau di rumah pengantin perempuan), kemudian
dilanjutkan dengan mendudukkan dua pasangan pengantin-sekaligus pemberian gelas.  Setelah itu, baru dilanjutkan dengan acara menaikkan,  di mana pihak laki-laki akan diantar ke tempat perempuan, di sini muncul simbol penyerahan, pihak laki-laki menyerahkan pengantin laki-laki ke keluarga perempuan, pun sebaliknya. Pada saat bersamaan (menaikkan)-diikuti dengan pengembalian istilah peminjaman adat, dengan ucapan “Terimakasih telah diberikan kesempatan untuk menggunakan adat.” Lama proses pelaksanaan acara adat perkawinan di Aceh Singkil, sekarang hanya 3 (tiga) hingga 5 (lima) hari, mulai dari proses menggantung, mendudukkan, dan menaikkan. Karena itu, di luar agenda yang dideskripsikan di atas, tidak termasuk kategori adat, misalnya seperti pementasan musikKeyboard, dan acara makan prasmanan.

Comments

Popular posts from this blog

Kerajaan-kerajaan di Aceh Singkil bagian Hulu

Nikmatnya Kepiting Jumbo Singkil Khas Rumah Makan Kiniko Duo